Kebodohanku

Aku masih terjaga dengan perasaan kosong. Ku tatap langit-langit kamar yang terasa makin kosong dan dinginnya pendingin ruangan yang menambah bekunya diriku. Ku putuskan untuk bangkit lalu membasuh wajahku. Oh lihatlah wajah lusuh ini, mata sembab, rambut berantakan tak karuan dan tatapan kosong tanpa semangat terpantul di cermin.

Aku merindukanmu. Aku rindu matamu, rindu hidungmu, rindu rambutmu, dan aku rindu senyum dari bibirmu.

Pagi tadi seharusnya kita bertemu. Aku berjanji akan menemanimu menjalani kegiatanmu. Seharusnya aku pergi bersamamu, menemanimu menunggu pengumuman yang akan disampaikan sembari bercanda dibawah pohon rindang, sampai teman-temanmu akan menyangka bahwa aku adikmu. Seharusnya begitu.
Nyatanya, pagi tadi aku tetap berada dirumah, dengan beribu-ribu kejengkelan ku lakukan kegiatan hari liburku seperti biasanya, menjadi "pembantu". Bukannya mendapat restu setelah menyelesaikan pekerjaan "pembantu"-ku, aku malah dapat ancaman tak di beri uang jajan selama sebulan. Jika bukan karena aku teringat omelan ayahku, aku akan tetap nekat pergi. Jujur saya, aku tidak peduli pada ancaman ibuku tak-diberi-uang-jajan-selama-sebulan, selama aku masih bisa mengisi perut waktu pagi, siang, sore, malam dirumah. Menahan lapar disekolah karena tak punya uang bukan masalah buatku.

Aku merindukanmu. Aku rindu tatapan hangatmu yang sesekali berubah jail, rindu aroma tubuhmu, rindu suaramu, dan aku rindu mendengar tawamu.

Hari ini, aku lebih banyak berdiam. Rasa jengkelku hari ini ditambah karena ponselku yang mendadak rusak. Hanya ada warna hitam dengan tulisan merknya berkelap kelip di layar tanpa menunjukan homescreen. Sambil menatap tab milik adikku yang sengaja kupinjam agar tetap bisa menghubungimu dan tahu kabarmu. Ku lakukan aktifitasku dengan kamu yang selalu ada di pikiranku. Apa yang sedang kamu lakukan? Bagaimana perasaanmu? Rindukah kamu padaku?

Terkadang aku ingin sekali menumpahkan semua rasa marah, kesal, kecewa, rindu melalui air mata. Tapi hal itu ku tahan untuk ku lakukan. Mungkin menangis memang menimbulkan kelegaan, tapi terkadang hanya membuatmu jadi kelelahan tanpa menuntaskan perasaan.

Kau berjanji akan datang. Aku terlalu antusias menunggu kedatanganmu. Aku mendadak lari ke teras saat mendengar suara deru motor (refleks ku lakukan), sesekali melongok keluar pagar dari jendela saat melakukan pekerjaanku, sampai aku tertidur di sofa ruang tamu sambil sesekali terbangun dan melongok keluar pintu. Aku benar-benar merindukanmu.

Saat aku benar-benar bangun dan berniat menghubungimu, ternyata ada pesan masuk. Kau tak jadi datang, dengan alasan cuaca diluar terlalu panas. Baiklah, ku maklumi meski segelintir kekecewaan mulai merasuki kembali, kau pasti lelah sepulang dari kegiatanmu, dan kamu sedang menjalani ibadah, itu pasti berat buatmu. Sebagai ganti pertemuan hari ini, kau ajak aku menemanimu pergi berbuka puasa. Dengan perasaan senang ku jawab "ya" tanpa mengingat apa yang akan kembali ku hadapi. Ku anggap remeh sikap ibu. Berfikir semuanya akan berjalan lancar dengan mengikuti semua aturannya.
Kembali lagi ku terima omelan-omelan dan ancaman itu. Aku menyerah. Aku lelah memberontak, memaksakan kehendak. Terpaksa ku batalkan pertemuan yang malah membuatmu marah.

Ahkirnya aku menangis menjadi-jadi saat semua orang pergi. Sesak ku rasakan dalam setiap nafasku. Aku marah, kesal, aku kecewa pada diri sendiri. Tak ku pikirkan sebelumnya akan jadi seperti ini.  Semua karena kebodohanku yang kau bilang tak pernah berubah. Aku berjanji dan membatalkannya, selalu begitu kau bilang. Jika saja ku kesampingkan rasa rinduku agar tak menutupi pikiranku, menata ulang segala kemungkinan yang terjadi, semua tak akan jadi seperti sekarang ini.


Dengan rasa semakin merindukanmu,
aku mengutuki diri karena kebodohanku