Aku Sudah Mati



Udara dipagi hari tak lagi memberikanku semangat dalam menjalani hari-hari, kini hanya kecewa dan air mata yang menemaniku. Sudah hari ke-3 sejak kejadian itu. Sejak wanita itu mengirimi ku pesan berisi gambar yang menunjukan betapa bahagianya kalian berdua saat bersama. Sejak wanita itu tegas mengatakan bahwa dia lah kekasihmu yang sebenarnya. Sejak wanita itu mengatakan bahwa aku hanyalah pelipur lara untukmu. Sejak wanita itu mengatakan hal-hal tak masuk akal yang membuat kepalaku ingin meledak, dan jantungku mendadak berhenti berdetak.

Aku selalu beranggapan bahwa ini hanyalah mimpi buruk. Mimpi yang sangat buruk. Tapi rasa sakit yang kurasakan malah terlalu nyata untuk disebut mimpi. Obat-obat maupun perawatan dokterpun tak mampu menghilangkan rasa sakitnya. Aku sekarat. Meskipun berulang kali aku meyakinkan diri sendiri, aku pantas hidup, aku pantas melakukan apa yang aku suka, aku tak boleh mati, tetap saja rasa sakit ini datang sesukanya. Menggerogoti segala yang ada di dalam tubuhku. Meskipun aku berusaha keras untuk tak mengingatnya, tetapi bayangan itu terus saja muncul. Meskipun aku memejamkan mataku, sosokmu bersama wanita yang tak ku kenal itu terus saja memenuhi kepalaku. Kau merangkul mesra wanita jalang yang kautiduri itu. Kau mencium pipinya seolah-olah kalian memang pantas bersama. Wanita jalang yang tiba-tiba menginterogasi semua mengenai hubungan kita. Wanita jalang yang mengaku bahwa dia adalah kekasihmu.

Kini kamu duduk di depanku setelah kamu memaksa untuk menemuiku. Katamu aku harus mendengarkan ceritamu. Katamu aku harus mendengarkan penyesalanmu.
Aku mendengarkanmu dengan baik, tanpa berkata, tanpa bertanya, tanpa bersuara. Aku mencoba memahami banyak hal dan peristiwa yang tak ku sangka dan tak bisa kucerna. Tahukah kamu, aku bahkan berhenti bernafas setiap mendengar barisan kalimat yang keluar dari mulutmu. Aku menahan diri untuk menunjukan padamu bahwa aku marah, aku terluka. Aku ingin sekali menangis, untuk meredakan panas di hatiku, tetapi air mata ini tak menetes sedikitpun. Dadaku akan meledak.

Tiba-tiba teringat saat hubungan kita belum terlalu dekat. Saat kita masih saling memanggil dengan sebutan senior-junior. Kau bertanya padaku mengapa aku begitu dingin seolah tak punya hati untuk siapapun. Aku menjawab bahwa aku memang tak punya hati. Tetapi kau tak menerima jawaban itu,  malahan katamu "Kalau kamu tak punya hati, kamu pasti sudah mati. Bukannya tak punya hati, tapi mungkin hatimu sedikit terluka, sini biar kubantu sembuhkan hatimu". Sejak saat itu aku mulai belajar untuk percaya. Setiap hari kamu membantuku merawat luka si hati. Dunia pun jadi menghangat dengan adanya hatiku yang mulai sembuh.Setelah sembuh, kuberikan hatiku padamu, karena aku percaya kau akan menjaganya dengan baik. Aku percaya kamu tidak akan melukai hatiku seperti pria brengsek itu, dulu.

Tetapi saat kamu memelukku, aku baru sadar satu hal. Perbuatanmu tak hanya melukai hatiku, tapi kamu membunuhnya. Hatiku sudah mati. Aku tak bisa merasakan lagi. Pelukmu yang biasanya menghangatkan dan menenangkan malah terasa dingin dan mencekam.

Sekarang aku sudah tak punya hati, aku sudah mati..